Entri Populer

Senin, 19 Desember 2011

Istana Tamalate - Balla Lompoa - Kerajaan Gowa

PENDAHULUAN

                Sejak awal berdirinya ± abad XIII (tahun 1300 Masehi), Kerajaan Gowa sudah memiliki dan mengembangkan budaya yang tak ternilai serta mempunyai latar belakang sejarah tersendiri. Secara kronologis Kerajaan Gowa di Celebes mempunyai level periode yang sama dengan beberapa kerajaan tua di Pulau Jawa dan Sumatera, seperti Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya serta dukungan kesamaan kepercayaan yaitu Hindu-Budda yang datang dari India melalui Malaya, Sumatera dan Jawa.
                Kerajaan Gowa diprakarsai oleh para arsitek dari Kepala Pemerintah Sembilan Kerajaan Kecil bersama seorang Paccalla yang dapat mempertimbangkan segala hasil musyawarah dari ke sembilan Kepala Pemerintahan. Dalam Lontara’ Patturioloanga ri Gowa serta diperkuat oleh salah satu tulisan berbahasa Belanda yang tidak diketahui nama penulisnya berjudul Ëenige Historische Stukken Uit den Ra’pang”disebutkan bahwa kesembilan Kepala Pemerintahan tersebut adalah: ”Kasuwiang ri Tombolo’, Lakiyung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Sero’ dan Kalling” inilah yang disebut Bate Salapanga ri Gowa”.
                Bate Salapanga dan Paccallaya sangatlah sedih lantaran diantara mereka tidak ada yang bersedia menjadi Kepala Pemerintahan (Raja). Namun kemasygulan hati mereka telah ditolong oleh Dewata dengan kehadiran “Tumanurunga”Putri Ratu Karaeng Bainea yang datang dengan tiba-tiba dan penuh teka-teki. Sejarah tidak pernah bercerita banyak tentang asal-usulnya, hanya dikatakan bahwa Tumanurunga turun dari kayangan (langit)bersama Tokenna (kalung emas), Panne Jawana (piring Jawanya) serta rumahnya yang terdiri dari lima petak (bilik) didekat Taipa Jombe-Jombea. Setelah berunding maka sepakatlah Bate salapanga dan Paccallaya untuk mengangkat pemimpin yang dianggap Tumanurunga itu sebagai Raja (Somba) pertama di Gowa.
                Setelah Gowa resmi menjadi sebuah kerajaan dan telah mempunyai Raja atau Somba, maka Paccallaya bersama Bate Salapanga (Kasuwiang Salapanga) membangun sebuah Istana yang terdiri dari sembilan petak di taka’ Bassia untuk Tumanurunga Putri Ratu Karaeng Bainea Somba ri Gowa. Istana itu diberi nama “Tamalate”(tidak layu) karena daun-daun dari kayu katangka yang dijadikan tiang istana belum layu sewaktu istana tersebut selesai dibangun dan ditempati.
                Istana Tamalate merupakan singgasana Tumanurunga yang dipersunting oleh Karaeng Bayo atas dukungan Paccallaya dan Bate Salapanga sebagai alternatif daripada kelangsungan turunan raja-raja dan para bangsawan serta masyarakat Gowa yang sampai saat ini tersurat dalam naskah LontaraPatturioloanga ri Gowa dan naskah yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Inggris yang telah berhasil ditranskripsi.
                Lokasi atau tempat Istana Tamalate yang kini tinggal kenangan sejarah berada di sekitar makam raja-raja Gowa seperti Raja Gowa XV I Mannuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid dan Putra Mahkotanya I Mallombasi Daeng Mattawang yang kita kenal bergelar Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI dan lain-lainnya. Tempat itu pula diberi nama “Bukit Tamalate”. Setelah Sultan Hasanuddin memperoleh penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, maka kompleks makam raja-raja tersebut dinyatakan sebagai Kompleks Makam Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin.
                Untuk pengembangan dan pelestarian sejarah serta budaya para leluhur kita dimasa silam, maka Pemda Tingkat II Gowa yang diprakarsai oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gowa Bapak H.Syahrul Yasin Limpo, SH telah membangun duplikat dan mengabadikan nama Istana Tamalate sebagai bukti dari kepedulian terhadap nilai-nilai luhur budaya kepada generasi mendatang agar tidak terlupakan sekaligus sebagia motivasi jiwa dan semangat kharisma budaya bangsa yang tidak ternilai di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.
                Semoga dengan arsitektur budaya Kerajaan Gowa pada masa lalu yang terpateri dalam kandungan pendirian Istana Tamalate yang kini berdiri dengan megahnya berdampingan dengan museum Balla Lompoa di kota Sungguminasa yang merupakan pusat pelaksanaan roda pemerintahan Gowa Bersejarah sebagai daerah otonomi, menjadikan Gowa benar-benar nampak sebagai daerah bekas kerajaan yang besar di Wilayah Timur Indonesia.

LATAR BELAKANG 
PEMBANGUNAN ISTANA TAMALATE
Gambar. Rumah Adat Istana Tamalate
 
        Rumah adat Istana Tamalate yang diprakarsai oleh Bupati KDH Tingkat II Gowa Bapak H. Syahrul Yasin Limpo, SH dan mendapat dukungan positif serta dorongan dari segenap lapisan masyarakat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Pemangku Adat serta motivasi dari Bapak Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Bapak H.Z.B. Palaguna, tidak dimaksudkan untuk merubah fisik atau mengurangi rasa kebanggaan masyarakat Gowa terhadap Istana Balla Lompoa sebagai salah satu peninggalan sejarah tetapi justru untuk lebih meningkatkan dan memaksimalkan apa yang telah ada.
        Istana Balla Lompoa akan dikembangkan secara monumental dalam suatu kawasan budaya dengan menghadirkan bangunan/rumah adat Istana Tamalate beserta bangunan-bangunan penunjang lainnya yang bersumber dari dokumen kuno Kerajaan Gowa (Lontarak asli) dan merupakan kristalisasi wujud bangunan yang sama pada zaman keemasan Kerajaan Gowa di abad XIV.
        Secara filosofi pembangunan, keberadaan rumah/bangunan adat Istana Tamalate merupakan rangkaian upaya mengoptimalkan pembangunan budaya bangsa yang te4rmasuk peninggalan sejarah trade mark  Kabupaten Gowa maupun sebagai daya tarik wisatawan di Sulawesi Selatan. Sedangkan dari sudut filosofi budaya diharapkan dapat berfungsi sebagai motivasi bahwa Kerajaan Gowa dimasa lalu tidak sekedar untuk dibaca dan dikenang, tetapi mampu menyatukan ikatan emosional dan menjadi tonggak kebanggaan bukan saja bagi masyarakat Gowa tetapi masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Selanjutnya akan tumbuh semangat kebersamaan dalam membangun Daerah Tingkat II Gowa.
          Mengaplikasikan konsep pembangunan dari simbol Rewako Gowa yang diaktualisasikan tiada hari tanpa perubahan dan tiada hari tanpa penyempurnaan, disertai komitmen kuat mewujudkan upaya untuk melakukan apa yang orang lain belum kerjakan dan mengerjakan lebih baik apa yang orang lain telah lakukan.
Latar Belakang, maksud dan Tujuan serta Sumber Inspirasi dari dasar pemikiran bentuk dan desain dari pembangunan rumah adat Istana tamalate
       Dalam konteks pembangunan kawasan situs Balla Lompoa yang merupakan cagar budaya, memelihara dan melestarikan budaya tidak dapat diartikan dengan kaku sebagai suatu yang menolak perubahan dan pembangunan baru dikawasan tersebut atau sebaliknya, mengartikan pembangunan dengan cara merombak dan menghancurkan warisan sejarah yang kemudian mengganti dengan bangunan baru yang semata-mata hanya didasari pemikiran ekonomi berorientasi bisnis, namun pembangunan yang kontekstual sangat mempertimbangkan aspek sejarah. Selain itu perlu pula dicermati bahwa pembangunan bagian kota lama (down town) yang umumnya didominasi oleh bangunan bersejarah sering menimbulkan kepentingan antara keinginan untuk memelihara dan melestarikan warisan kota (urban heritage) dengan modernisasi bangunan. Sebetulnya benturan tersebut dapat dihindari apabila lingkungan binaan dalam kawasan bersejarah dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan dan fungsi baru.
        Dengan bertitik tolak pada pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka pembangunan Istana Tamalate dimaksudkan untuk mewujudkan kembali situs Istana Tamalate yang pernah dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Gowa sekitar abad XIV dengan  sumber inspirasi dan acuan dasar. Perwujudan fisik bangunan rumah adat Istana Tamalate ini diadopsi dari dokumen-dokumen kuno (lontarak asli) tentang bangunan istana yang pernah dibangun pada masa keemasan Gowa antara lain:
  • Istana Tamalate pada awal Kerajaan Gowa
  • Istana Towaya
  • Istana Kembar Somba Opu
Wujud bangunan yang dibangun ini tidak lagi sepenuhnya difungsikan seperti layaknya pada masa kejayaan Kerajaan Gowa, namun desain dan ruangannya lebih fleksibel serta diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang fungsional, bernilai ekonomi tetapi secara visual tetap memberi nuansa sejarah.
Dengan latar belakang dan perwujudan bangunan tersebut, maka kehadiran Istana Tamalate sesuai dengan fungsinya digolongkan sebagai Bangunan Adat Istana Tamalate dan bukan rumah adat seperti Istana Balla Lompoa yang merupakan tempat kediaman raja.
 
KONSEP DASAR
PEMBANGUNAN ISTANA TAMALATE
A.      Konsep Makro
1.         Bangunan adat Istana Tamalate dibangun dalam kawasan bersejarah berdampingan dengan Istana Balla Lompoa, dengan menggunakan sebagian Lapangan Bungaya
2.         Lapangan di depan istana dimaksudkan untuk ruang terbuka (space introduction) sebagai upaya memberi jarak pandang kepada bangunan yang bernilai monumental.
3.         Ruang terbuka yang merupakan alun-alun difungsikan sebagai tempat upacara adat, pesta rakyat dan wadah pedagang kaki lima.
4.         Bagian depan dan belakang ditanami pohon lontar sebanyak sembilan pohon sebagai ciri khas yang menandakan simbol Bate Salapang.
5.         Dalam kawasan tersebut akan dibangun fasilitas yang terdiri dari:
·         Gazebo souvenir dari masing-masing kecamatan (sembilan buah)
·         Panggung terbuka untuk pertunjukan tradisional pesta adat
·         Pujasera
·         Gedung penunjang
·         Pelataran parkir
·         Pintu gerbang utama
·         Kolam air mancur
B.      Konsep Mikro
  1. Ruang Istana tamalate terdiri dari :
a.          Ruang utama (kale balla’) yang terbagi menjadi :
·         Ruang tamu/ruang pertemuan diasumsikan sama dengan bilik duduk
·         Ruang panggung/strage diasumsikan sebagai ruang singgasana raja yang nantinya dimanfaatkan sebagai ruang pelaminan
·         Ruang administrasi/pengelola yang diasumsikan sebagai ruang makan raja-raja dan ruang makan tamu-tamu kerajaan dan juga dijadikan ruang pengawal raja
b.        Ruang dapur/pantry diasumsikan sebagai dapur
c.         WC dan kamar mandi
d.        Ruang persiapan dan ruang penjaga
Luas lantai ±1.630 m2 dengan kapasitas 2.000 orang
Gambar. Struktur Bangunan Istana Tamalate
  1. Struktur bangunan menggunakan sistem rumah panggung
  2. Ramuan konstruksi umumnya terbuat dari bahan kayu
  3. Ukuran-ukuran menggunakan depa(rappa) dan hasta (singkulu’)
  4. Jumlah tiang disesuaikan dengan jumlah tiang Istana tamalate (istana tertua) yaitu 78 tiang
  5. Panjang bangunan adalah 41 depa (82 meter) disesuaikan dengan panjang bangunan Istana Tamalate (istana tertua)
  6. Lebar bangunan lebih dari 10 depa (±25 meter) yang dikembangkan sesuai proporsi arsitektur
  7. Paranginan atap (timba’sila) terdiri dari lima susun disesuaikan dengan Istana Tamalate dan Istana Towaya
  8. Atap terbuat dari sirap/bambu (sappi), warna atap biru tua (mengikuti warna asli Istana Tamalate)
  9. Tinggi atap dari tanah 9 depa (18 meter) dikembangkan dari Istana Tamalate
  10. Tinggi atap bagian depan 6 depa tambah setengah hasta (12,5 meter) dikembangkan dari Istana Tamalate
  11. Ruang penerima tamu(paladang) dibuat lebih rendah 50 cm dari ruang utama
  12. Ornamen/relief dikembangkan dari motif relief Istana Kembar Benteng Somba Opu dengan prinsip panel
  13. Tangga diberi baruga dikembangkan dari Istana Kembar benteng Somba Opu dengan lebar 2,5 depa (5 meter)
  14. Tangga depan tusuk tegak lurus badan rumah dikembangkan dari ketiga istana yang pernah ada di Kerajaan Gowa
  15. Tangga service diletakkan menyamping sejajar dengan lebar rumah
  16. Warna umum bangunan dikembangkan dari ketiga istana yang pernah ada di Kerajaan Gowa
  17. Mahkota atap dikembangkan dari ketiga istana yang pernah ada di Kerajaan Gowa dengan motif kepala kerbau
    Gambar. Anjong Istana Tamalate

    LUAS DAN CIRI-CIRI
    BANGUNAN ISTANA TAMALATE

    A.      Luas Bangunan
    1.  Luas lahan bangunan, tempat parkir dan taman ±8.400 m2
    2.  Luas fisik bangunan 25 x 92 meter yang terdiri dari :
    a.       Luas bangunan utama 25 x 60 meter = 1.500 m2
    b.      Luas bangunan paladang 10 x 10 meter = 100 m2
    c.       Luas serambi samping 2 x 1,2 x 30 meter = 72 m2
    d.      Luas serambi belakang 3 x 10 meter = 30 m2
    e.      Luas bangunan tangga utama 4 x 9 meter = 36 m2
    B.      Ciri-ciri Bangunan Adat Istana Tamalate
    1.  Bangunan induk memakai timba’ sila (peranginan atap) lanta’ lima (lima susun) sebagai simbol strata (golongan) tertinggi dalam lingkungan suku Makassar dan menandakan bahwa rumah adat tersebut adalah istana Raja Gowa
    2.  Bangunan paladang memakai timba’ sila lanta’ tallu yang selain bermakna sebagai simbol rumah golongan karaeng, juga berarti bahwa paladang adalah tempat menerima tamu yang terdiri dari berbagai golongan bahkan dari bangsa asing sekalipun
    3.  Ujung-ujung balok utama dihiasi ukiran khas Makassar/Bugis
    4.  Jumlah tiang yang berjejer ke samping sebanyak 6 buah
    5.  Jumlah tiang yang berjejer ke belakang sebanyak 13 buah, tidak termasuk tiang paladang dan tangga sebanyak 4 buah
    6.  Pada sisi depan tangga terdapat sebuah guci besar sebagai tempat air untuk membersihkan kaki
    Tiang-tiang Bangunan
    Jumlah tiang bangunan seluruhnya 92 tiang yang terdiri dari :
    ·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 11 m sebanyak 30 tiang
    ·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 9,30 m sebanyak 28 tiang
    ·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 9 m sebanyak 6 tiang
    ·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 5,50 m sebanyak 21 tiang
    ·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 4 m sebanyak 2 tiang
    ·         Tiang ukuran 20 cm x 20 cm x 9 m sebanyak 3 tiang
    ·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 2,5 m sebanyak 2 tiang
    Tinggi Bangunan
    ·         Tinggi bangunan utama dari permukaan tanah sampai ke puncak atap 22,15 meter
    ·         Tinggi lantai atas dari lantai dasar 5,5 meter
    ·         Tinggi plafon bangunan utama dari lantai 10,30 meter
    Material Bangunan
    ·    Material/bahan utama bangunan adalah sekitar 90% dari kayu bayam sebanyak 500 m3  yang berasal dari Irian Jaya
    ·    Material atap dari sirap kayu ilin sebanyak 3.000 ikat/ m3  berasal dari Kalimantan
    ·    Umpak (pappadongkokang benteng) dibuat dari beton pra cetak sebanyak 92 batang dengan campuran beton @ 0,7 m3  = 64,4 m3  
    ·    lantai dasar (siring) ditutup dengan beton rabat seluas 2.083 m2  
    ·    Balok lantai ukuran 10 cm x 30 cm
    ·    Plafon ruang utama dari gipsumboard 9 mm dan ruang-ruang lainnya dari tripleks 9 mm
    Sekilas tentang anjong (mahkota atap)
         Bentuk anjong (mahkota atap) yang pernah digunakan pada istana raja disaat pemerintahan Kerajaan Gowa adalah:
    1.  Bulan sabit kombinasi bunga teratai. Bentuk anjong ini hanya digunakan pada istana Tumanurunga Putri Ratu Karaeng Bainea. Bulan sabit dan bunga teratai mengandung makna bahwa raja yang dilambangkan sebagai bulan merupakan penguasa yang berada di atas dan akan menumpahkan cahaya kehidupan hingga kejenjang yang berada dibagian dibagian terbawah (rakyat yang dilambangkan sebagai bunga teratai). Simbol bulan juga mengandung arti cita-cita yang tinggi laksana bulan di atas langit. Selain itu bulan sabit dan bunga teratai merupakan simbol kecantikan yang menjadi kebanggaan seorang wanita. Untuk memuliakan Tumanurunga yang merupakan raja/somba pertama di Gowa maka setelah pemerintahan beliau, tidak dibolehkan lagi seorang perempuan untuk menjadi raja dengan demikian tidak ada lagi istana raja yang boleh menggunakan anjong dengan lambang bulan sabit dan bunga teratai.
    2.  Naga/Ular. Bentuk anjong ini digunakan pada istana raja/somba berikutnya sebagai lambang kekuatan dengan makna bahwa raja sebagai penguasa tertinggi yang memiliki kekuatan akan selalu melindungi yang lemah. Naga/ular juga sebagai simbol kemuliaan/derajat tinggi
    3.  Ayam. Beberapa istana raja selanjutnya menggunakan anjong dengan model ayam sebagai simbol kejantanan/keberanian yang harus diteladani. Juga sebagai simbol rezeki kehidupan dan kemakmuran yang senantiasa baik dan tentram 
    4. Kerbau. Hingga menjelang pemerintahan Raja Gowa terakhir, istana raja menggunakan anjong dengan model kepala kerbau seperti yang dapat kita lihat sekarang ini pada Istana Balla Lompoa. Model ini merupakan simbol kekayaan/status sosial, kekuatan/persatuan dan kemakmuran serta melambangkan bahwa Gowa merupakan daerah agraris.

     KERAJAAN GOWA
              Perang antara Kerajaan Gowa dan Belanda yang berakhir pada tahun 1906, ditandai dengan gugurnya Raja Gowa XXXIV I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang Sultan Husain Temenanga Ribundu’na pada bulan Desember 1906 di Sidenreng. Jongaya ibukota Kerajaan Gowa diduduki oleh Belanda. I MappanyukkiDatu Suppa dan I Mangimangi Karaeng Bontonompo diasingkan oleh Pemerintah Belanda masing-masing ke Selayar dan Bima. Bangsawan-bangsawan tinggi lainnya tetap tinggal di Jongaya dan Gunung Sari dalam keadaan menderita lahir dan batin sebagai akibat perang. Mereka banyak kehilangan harta benda yang disita dan dirampas oleh tentara Belanda.
                 Benda-benda kebesaran (kalompoang) di Gowa seperti kalewang, sudanga, rantai emas tani sa’mang dan lain-lain disita dan sebagian dikirim ke Museum Betawi, Museum Amsterdam dan Leiden. Bate-bate (panji) dari anggota Dewan Bate Salapanga juga disita oleh Pemerintah Belanda.
           Karena Pemerintah Belanda meyakini bahwa bekas Kerajaan Gowa sejak dahulu merupakan suatu kekuatan politik yang amat penting di Celebes Selatan, maka Pemerintah Belanda berusaha mempelajari dengan teliti dan seksama hubungan dan pengaruh yang hidup dikalangan kaum bangsawan di Gowa. Setelah memperoleh gambaran yang jelas tentang keadaan didalam golongan kaum bangsawan, Pemerintah Belanda mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh untuk mencari seorang calon yang tepat untuk diangkat menjadi calon Ketua Federasi Gowa yang baru dibentuk (1 Juli 1926). Untuk jabatan tersebut diajukan tiga orang calon masing-masing :
    • I Tjoneng Daeng Mattajang karaeng Manjalling
    • Andi Baso Daeng rani karaeng Bontolangkasa yang pada waktu itu masih duduk di bangku sekolah OSVIA Makassar. Beliau adalah adik dari calon pertama
    • Andi Pangerang Daeng Rani putra dari Andi Mappanyukki Datu Suppa. Baliau adalah tamatan OSVIA Makassar dan pada waktu itu menjadi karaeng/kepala adatgemeenschap Bontonompo.
    Setelah diadakan perundingan oleh Pemerintah Belanda dengan beberapa tokoh terkemuka di Gowa diantaranya Andi Mappanyukki, I Bunta Karaeng Mandalle, I Mangimangi Karaeng Bontonompo dan juga Dewan Bate Salapanga, maka disepakatilah bahwa I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling yang diangkat menjadi Ketua Federasi Gowa dan dilantik pada bulan September 1926 di Jongaya.
    Dengan diangkatnya I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling sebagai Ketua Federasi Gowa, Pemerintah Belanda merasa dirinya telah berhasil memperoleh hubungan yang lebih erat dengan kaum bangsawan tinggo di Gowa.
    Sejak terbentuknya Federasi Gowa banyak terjadi perubahan di bidang susunan pemerintahan. Menurut keadaan pada tahun 1935, susunan pemerintahan di Gowa sebagai berikut :
    1.      Onderafdeling Gowa dikepalai oleh seorang kontrolir dengan dibantu oleh seorang aspirasi kontrolir dan tiga orang pamong praja bumi putra (hulp bestuurs assisten dan aib).
    2.       Federasi Gowa diketuai oleh I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling
    3.       Tiga belas adatgemeenschap masing-masing :
    a.       Mangasa dikepalai oleh seorang gallarrang
    b.      Tombolo dikepalai oleh seorang gallarrang
    c.       Borongloe dikepalai oleh seorang gallarrang
    d.      Karuwisi dikepalai oleh seorang karaeng (I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling)
    e.      Pattallassang dikepalai oleh seorang karaeng
    f.        Borisallo dikepalai oleh seorang karaeng
    g.       Parigi dikepalai oleh seorang karaeng
    h.      Manuju dikepalai oleh seorang karaeng
    i.         Bontonompo dikepalai oleh seorang karaeng
    j.        Limbung dikepalai oleh seorang hulp bestuurs assisten
    k.       Malakaji dikepalai oleh seorang hulp bestuurs assisten
    l.         Pao dikepalai oleh seorang arung
    m.    Kindang dikepalai oleh seorang karaeng
    Dalam kurun waktu 30 tahun hubungan antara Pemerintah Belanda dengan bangsawan tinggi Gowa terlihat baik dan memberi keyakinan kepada Pemerintah Belanda untuk merehabiliter kembali Kerajaan Gowa termasuk Bone yang ditaklukkan pada tahun 1905/1906
    Pada bulan April 1931, Andi Mappanyukki diangkat menjadi Raja di Bone dengan gelar Sultan Ibrahim Ibnu Sultan Husain dengan menandatangani Korte Verklaring (Perjanjian Pendek). Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1936 barulah Gowa direhabiliter dan diangkat I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo menjadi Raja Gowa dengan gelar Sultan Muhammad Tahir Muhibbuddin (Raja Gowa XXXV). Beliau menandatangani Perjanjian Pendek pada tanggal 30 November 1936. Untuk mendampingi Raja Gowa yang baru, maka oleh Residen Celebes Selatan diangkat dua pejabat tinggi yaitu :
    ·         I Pabisei Daeng Paguling Karaeng Katapang sebagai Tumailalang Towa.
    ·    I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling sebagai Tumailalang Lolo (sebelumnya menjabat sebagai Ketua Federasi dan Karaeng Karuwisi).
    Dengan direhabiliternya kembali Kerajaan Gowa dan diangkatnya I Mangimangi Daeng Matutu sebagai Raja Gowa XXXV pada tahun 1936, maka dibangun pulalah kembali Istana Balla Lompoa di Sungguminasa sebagai tempat kediaman raja sekaligus dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Gowa.
    Pembangunan istana dan juga pusat kegiatan pemerintahan dilakukan mengingat bahwa setelah Perjanjian Bungaya dengan beberapa kali perubahan, pada salah satu ayat dikatakan bahwa :
    ·   Gerbang-gerbang dan tembok-tembok pertahanan Raja Gowa harus dirusakkan dan raja Gowa tidak boleh lagi mendirikan bangunan-bangunan yang demikian dengan tidak keluasan kompeni,
    ·     Raja Gowa tidak boleh mendirikan perkampungan, rumah dan sebagainya sampai jauhnya satu hari perjalanan dari pinggir laut.
    ·       Raja Gowa tidak boleh lagi mendirikan benteng-benteng atau kubu-kubu pertahanan.
    Yang dipertahankan oleh Belanda hanya Benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti menjadi Fort Rotterdam sebuah nama tempat kelahiran Spelman.

    ISTANA BALLA LOMPOA
    Gambar. Istana Balla Lompoa
    Istana Balla Lompoa tersebut diproses dan dirancang sesuai dengan aturan kebiasaan umum yang berlaku turun temurun dalam wilayah Kerajaan Gowa, seperti yang telah diuraikan sebelumnya sebagai syarat yang harus dipenuhi bagi sebuah rumah adat suku Makassar terutama untuk kediaman raja. Istana Balla Lompoa sempat dihuni oleh dua raja masing-masing:
    ·         I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Raja Gowa XXXV Tumenanga ri Sungguna (1936 – 1946)
    ·     Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aididdin (Raja Gowa XXXVI) dan menjadi Kepala Daerah pertama (1946 1960).
    Karena Istana Balla Lompoa dikuasai dan dihuni secara tetap oleh seorang pemilik yaitu raja/somba, dijadikan tempat penyelenggaraan kehidupan sebagai makhluk sosial tanpa ada orang lain yang boleh berbuat atau bertindak sesuka hati di tempat itu, tempat mengembangkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan generasi bagi pemiliknya, menjadi tempat pertumbuhan, pelaksanaan, pengembangan dan pelestarian nilai-nilai kebiasaan yang telah ada dan diakui serta dikembangkan luas dikalangan masyarakat dan sampai sekarang masih dihuni oleh keturunan raja serta sebagai tempat penyimpanan benda-benda kebesaran yang menjadi peninggalan sejarah (museum), maka Istana Balla Lompoa sebagai bekas Istana raja Gowa tetap dikategorikan dan disebut Rumah Adat – Istana Balla Lompoa.
    Ciri – ciri Rumah Adat Istana Balla Lompoa
    1.       Anjong (mahkota atap) terbuat dari kepala kerbau.
    2.       Luas bangunan induk 27,60 x 15,30 meter, terdiri dari enam petak
    3.       Luas bangunan paladang (serambi) depan 7 x 5 meter
    4.       Luas bangunan serambi belakang (dapur) 20,10 x 12 meter
    5.       Besar tiang rata-rata 20 x 20 cm
    6.       Jumlah tiang secara keseluruhan sebanyak 78 buah
    ·         Tiang bangunan utama 48 buah
    ·         Tiang paladang (serambi depan) 9 buah
    ·         Tiang dapur (serambi belakang) 21 buah
    1.       Jumlah tiang yang berjejer kesamping sebanyak 6 buah
    2.       Jumlah tiang yang berjejer kebelakang sebnayak 8 buah, tidak termasuk tiang paladang dan tangga
    3.       Tinggi rumah dari tanah sampai kepuncak atap 11,6 meter yang terdiri dari :
    ·         Passiringan (kolom rumah) 2,5 meter
    ·         Pa’rinringan (dinding) 3,10 meter
    ·         Pannyambung 6 meter
    Konstruksi lantai Istana Balla Lompoa menggunakan pallangga lompo dan pallangga caddi sedangkan Istana Tamalate hanya menggunanakan palangga lompo.
    Tangga Istana Balla Lompoa dan Istana Tamalate diberi atap yang disebut pattongko’tuka’. Atap tangga Istana Tamalate diberi baruga yang memakai timba’ sila dua tingkat, sedangkan Istana Balla Lompoa diberi atap tanpa baruga. Hal ini menggambarkan bahwa Istana Tamalate dibangun untuk digunakan sebagai tempat kegiatan kemasyarakatan dari seluruh golongan masyarakat baik dari golongan karaeng, tumaradeka maupun ata.
     
    DAFTAR PUSTAKA
    ·         Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Makassar 1969.
    ·         Abdurrahim dan Prof Drs. G. J. Wolhoff, Sejarah Gowa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
    ·         Andaya Leonard Y.,The Heritage of Arung Palakka, the Hague Martinus Nijhoff,1981.
    ·         Hasan Basri, menyingkap Tabir Rumah Adat Suku Makassar di Sulawesi Selatan, Sungguminasa 1987.
    ·         Mattes, DR. B. F., Oudste Gerschiedenis van Gowa, Tallo en Eenige Andere van Het Eiland Celebes, (terjemahan),Title asli yang dilaten, Anne Patturioloanga ri Tu Gowaya.
    ·         Sherman E. Lee, A. History Far Eastern, Art First Published in Great Britain by Thames and Hudson Ltd, London 1964.
    ·         Syahrul Yasin Limpo, SH., Drs. Adi Suryadi Culla dan Zaenuddin Tika, SH.,Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata Gowa, Sungguminasa, Mei 1995.
    ·         Muh. Amin Yakub, Ir. H., Rumah Adat Istana Tamalate Kabupaten Gowa, Sungguminasa 1987.
    ·         ------------------------------, Lontara Bilang Berisi Peta dan Gambar Istana Kerajaan Gowa.
    ·         M. Jufri Tenribali, Wawancara, Agustus 1998.

    ISTANA TAMALATE








    ISTANA BALLA LOMPOA




    PEKARANGAN ISTANA

     

5 komentar:

  1. Minggu kemarin tanggal 01 April 2012, saya berkesempatan mengunjungi Istana Tamalate. Alhamdulillah, sungguh kekayaan budaya dan adat istiadat memperkaya khasanah Budaya Nusantara. Kesan gw thdp istana ini sungguh luar biasa, namun sebagai situs serajah bangsa, idealnya perlu penyempurnaan dan kerja yang berkesibambungan. Disana sini masih terlihat pemandangan yg belum sempurna, sebagai contoh, di depan bangunan inisial I dari kata Istana tidak terlihat lagi. Disamping keasrian dan kenyamanan kompleks kiranya dapat terpelihara. Di pintu masuk belakang kompleks, terpasang iklan "Pasang Kawat Gigi" dan iklan2 lainnya.

    BalasHapus
  2. Jumlah anak tangga museum balla lompoa berapa??

    BalasHapus
  3. Best No Deposit Bonus Codes in India - Herzamanindir.com
    5 steps1.Visit the official 출장안마 website of No Deposit India.
    Benefits of using a no nba매니아 deposit bonus.
    Benefits of using a no deposit bonus.
    Benefits of using a no deposit bonus.
    Online https://septcasino.com/review/merit-casino/ Sincere 바카라 Accessory domain www.online-bookmakers.info 바카라 사이트

    BalasHapus